Kondisi minat baca di Indonesia
berdasarkan tingkat literasi atau membaca masyarakat, yang dinilai oleh
Central Coneciticut State University di Inggris, tercatat Indonesia
berada ditingkat 60 dari 61 negara yang dinilai.
Hal itu diungkapkan oleh
Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Minat Baca Perpustakaan Nasional,
Deni Kurniadi, saat menjadi narasumber dalam Rapat Koordinasi Perpustakaan dan
Kearsipan, yang dilaksanakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi
Bengkulu, di salah satu hotel kota Bengkulu, pada Rabu (3/3).
“Sementara itu, berdasarkan data
dari Program Penilaian Siswa Internasional atau Program for Internasional
Student Assessment (Pisa), pada tahun 2015, Indonesia berada pada
rangking 69 dari 76 negara, dengan skor membaca 396, dibawah angka
rata-rata,” sebut Deni.
Menurutnya, rendahnya budaya baca
masyarakat Indonesia karena beragam aspek, antara lain masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat berbudaya tutur, dimana, kata Deni, bentuk pertukaran
imformasi masyarakat kita masih secara lisan. Semua imformasi, gagasan serta
pengetahuan,hanya disimpan dalam ingatan.
“Seperti dapat kita lihat
dalam kesehariannya, masyarakat Indonesia lebih senang ngobrol atau melamun
ketimbang membaca,” katanya.
Untuk itulah, katanya lagi, budaya
membaca harus dijadikan sebagai sebagian dari kehidupan dari masyarakat
Indonesia. Kegemaran mambaca itu dapat berdampak pada budaya
membaca, yang secara langsung maupun tidak langsung, kebiasaan membaca menjadi
salah satu indikator kualitas bangsa.
Selain itu, sebutnya, bangsa
Indonesia angka melek huruf atau literasi rate, baru diangka 92 persen
saja, jika dibandingkan dinegara maju seperti di Jepang sudah mencapai 99
persen.
Apalagi saat ini, ungkapnya,
bangsa Indonesia mengalami transfromasi yang hebat dalam penggunaan tekhnolog
imformasii, dimana bangsa Indonesia tercatat sebagai pengguna jasa internet
sebanyak 132,7 juta orang, yang didapat dari survey Asosiasi Penyelnggara
Jasa Internet Indonesia, pada tahun 2016 lalu.
“Namun sangat disayang, saat
ini pengakses konten game 44 persen, aktifitas sosial 12 persen, alat
bantu atau tolls 9 persen, foto grafi 9 persen, konten musik 6
persen, bisnis produktifitas 3 persen, akan tetapi penggunaan sosial media
untuk membaca buku hanya diangka 3 persen saja,” ungkapnya.
Perlu diakui, kata Deni, mayoritas
masyarakat Indonesia belum melakukan kegiatan membaca secara intens untuk
kebutuhan hidup. Untuk menciptakan budaya gemar membaca pada masyarakat,
harus ada upaya dari pemerintah yang terarah dan terpogram melalui
kegiatan promosi agar masyarakat lebih mengerti akan pentingnya perpustakaan
dan membaca bagi kehidupannya.
“Melalui promosi budaya membaca
diharapkan akan membangun “wireless” terhadap perpustaakaan, ini dilakukan
dengan program promosi yang imformatif, implementatif dan komuikatif dan
bersifat popular guna menunjang imformasi yang luas dalam menyebarkan
imformasi untuk gemar membaca,” pungkasnya. (Saipul- Media Center
Pemprov)
Komentar
Posting Komentar